8 Terduga Pendukung ISIS

lemari asam - Pengacara delapan warga negara Indonesia yang didakwa memiliki keterkaitan dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Asludin Hatjani, mempertanyakan dasar dakwaan yang digunakan untuk menjerat kliennya.

Kedelapan orang terduga simpatisan ISIS itu mulai diadili secara terpisah pada hari Senin 12 Oktober. Namun Asludin menilai, sebagian dakwaan tersebut mengada-ada dan terlalu dipaksakan.

"Mereka disebut sebagai simpatisan ISIS karena pernah ke Suriah. Tapi itu mereka lakukan sebelum Indonesia menyebut ISIS sebagai kelompok berbahaya dan terlarang di Indonesia," kata Asludin kepada BeritaBenar, Selasa, 13 Oktober 2015.

Menurut Asludin, ISIS baru diklasifikasikan sebagai kelompok terlarang oleh pemerintah Indonesia lewat penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 11 Oktober 2014. Para terdakwa, katanya, mengunjungi Suriah pada 2013.

"Artinya, kejahatan yang didakwakan itu terjadi sebelum ada larangan soal ISIS? Kok bisa?" kata Asludin lagi.

Tiga terdakwa yang disebut pernah berkunjung ke Suriah adalah Ridwan Sungkar alias Abu Bilal, Ahmad Junaedi alias Abu Salman, dan Abdul Hakim Munabari. Mereka dijerat Pasal 15 juncto Pasal 7 Undang-undang 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati dan minimal tiga tahun penjara.

Pasal yang sama juga didakwakan kepada lima terdakwa lain, yaitu Helmi Muhammad Alamudi alias Abu Royan, Saeful Jambi, Aprium Hendri, Koswara, dan Tuah Febriwansyah alias Muhammad Fachry.

Namun, Tuah Febriwansyah alias Muhammad Fachry, juga dijerat Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dia juga dinilai menyebarkan paham yang mendukung organisasi terlarang ISIS lewat portal Al-Mustaqbal.

Portal ini beberapa kali menyuarakan dukungan pergerakan Al-Muhajirun, yaitu perjuangan mengangkat senjata.

Menanggapi pernyataan kuasa hukum para terdakwa kasus terorisme yang menyebut dakwaan sebagai ihwal yang dipaksakan, jaksa penuntut umum Suroyo tak ambil pusing.

"Kalau itu dinilai tak relevan, sampaikan saja dalam pembelaan," ujar Suroyo ketika dihubungi BeritaBenar.

Suroyo beralasan, jaksa penuntut sudah mempertimbangkan setiap dakwaan dengan tepat, termasuk soal keterlibatan dengan ISIS.

Meski pemerintah Indonesia baru mengategorikan ISIS sebagai kelompok terlarang pada 2014, namun menurut Suroyo, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menyebut ISIS sebagai kelompok terlarang pada 2011.

"Nah, dasar itu kami masukkan juga ke dalam dakwaan untuk menjerat mereka," katanya.

"Lagipula, selama mereka di Suriah untuk mengikuti pelatihan militer di kamp ISIS, mereka sudah mengetahui bahwa pelatihan tersebut adalah persiapan teror."

BNPT dukung langkah jaksa

Meski disidang pada hari yang sama, kedelapan terdakwa sebenarnya ditangkap di lokasi dan waktu berbeda. Ridwan Sungkar, misalnya, ditangkap pada Maret lalu di Tulungagung, Jawa Timur.

Sementara Abdul Hakim Munabari, Helmi Alamudi, dan Ahmad Junaedi ditangkap anggota Detasemen Khusus Antiteror 88 Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Malang, Jawa Timur.

Sedangkan Tuah Febriwansyah ditangkap pada di Tangerang Selatang, Banten.

"Mereka disidang pada hari yang sama karena dakwaannya hampir sama. Meski semuanya tak disatukan dalam satu berkas," kata salah seorang jaksa Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Kusumoaji, kepada BeritaBenar.

Dihubungi terpisah, staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Hari Purwanto memuji langkah jaksa penuntut umum yang memasukkan ISIS sebagai kelompok terlarang menurut PBB ke dalam salah satu poin dakwaan.

"Itu langkah bagus karena dakwaan menjadi memiliki dasar pijakan yang kuat," kata Wawan saat dihubungi BeritaBenar.

Wawan berharap tak ada warga Indonesia lain yang mengikuti jejak mereka di masa mendatang. Pasalnya, kata Wawan, pemerintah tak akan segan-segan memberikan hukuman berat kepada warga negara yang bergabung dengan ISIS.

Salah satunya adalah kemungkinan mencabut kewarganegaraan Indonesia yang dimiliki. Hal itu, ditambahkan Wawan, termaktub dalam UU Kewarganegaraan.

"Kalau mereka masuk menjadi milisi negara atau kelompok lain seperti ISIS, kan, bisa timbul masalah. Bagaimana jika mereka melakukan pelanggaran hukum saat melakoni itu?" ujar Wawan lagi.

"Jadi, daripada menjadi masalah? Kan, lebih baik kewarganegaraan mereka dicabut."

Setelah menjalani sidang perdana pada Senin lalu, kedelapan terdakwa selanjutnya menghadapi sidang lanjutan pada Selasa pekan depan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan agenda membacakan pembelaan.